Rezim Baru dan BBM Rp. Lima Ribu
Pemerintah menaikkan harga Pertalite dan Solar masing-masing sebesar 31% dan 34%. Alasannya adalah harga keekonomian dan subsidi tidak tepat sasaran. Lalu mahasiswa bergerak marah di berbagai penjuru bumi pertiwi. Ketua-ketua partai asyik masyuk kasak kusuk cari pasangan copras capres tak peduli. Kaum buruh menjerit, bayang-bayang PHK muncul, baik jutaan buruh sektor otomotif yang baru akan pulih setelah kenaikan BBM 2014 dan pandemi, maupun buruh berbagai sektor lainnya. Ibu-ibu rumah tangga mulai hitung menghitung tambahan inflasi kebutuhan pokok yang akan sangat besar kali ini. Benarkah harga keekonomian terlalu tinggi? Sehingga subsidi yang diberikan pemerintah naik 3 kali lipat menjadi Rp. 502 Triliun tahun ini. Baca Juga :Â Demo Tolak BBM, Mahasiswa Kecewa Ketua Dewan Keluar Kota Benarkah pernyataan Jokowi bahwa orang kaya menikmati subsidi BBM itu dalam porsi 70%? Bagaimana dengan 120 juta pemilik sepeda motor, apakah mereka orang-orang yang dituduh Jokowi penikmat subsidi tidak tepat sasaran itu? Tentu saja pemerintah boleh menaikkan harga BBM jika memang hal itu dapat dimengerti oleh Rakyat Indonesia. Namun, jika itu sebuah kebijakan yang salah, ketika ekonomi mulai bangkit setelah dua tahun kehancuran akibat pandemi, maka nasib rakyat bisa terperosok lebih buruk lagi. Bagaimana mengukur kebenaran dari kebijakan pemerintah ini, khususnya masih terngiang berita di bulan Juli, di mana Jokowi menyampaikan pada forum pemred, bahwa sepanjang tahun 2022 ini tidak ada kenaikan BBM. Soal Harga Keekonomian Pertama, mari kita lihat definisi harga keekonomian yang dimaksud pemerintah. Airlangga Hartarto, 16/8/22, menyatakan harga keekoniam pertalite adalah Rp 13.150, Menteri ESDM, awal September, mengatakan Rp. 17.000 dan Dirut Pertamina mengatakan Rp. 17.500. Dengan harga Pertalite, sebelum dinaikkan, Rp. 7.650, maka pemerintah memberikan subsidi yang besar. Urutan pernyataan menteri ini seharusnya terbalik atau aneh, karena harga minyak dunia lebih mahal ketika 16/8/22 dibandingkan awal September. Tapi begitulah pemerintah kalau memberi statemen. Entah mana yang benar. Kwik Kian Gie, mantan Menteri Perekonomian Era Gus Dur, alumni Erasmus University Rotterdam, jurusan ekonomi, pernah mengaku tidak paham istilah subsidi BBM ini. Sebab, menurutnya, sebagai produsen minyak, Indonesia tidak perlu memberikan istilah subsidi bagi barang miliknya sendiri. Bahkan, ketika kita menjadi net importir, tetap saja kita punya porsi minyak hasil perut bumi Pertiwi. Pada tahun 2008 Indonesia mendeklarasikan diri sebagai net importir minyak mentah. Kemampuan produksi kita tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus menerus meningkat. Awal tahun 2000an, grafik konsumsi dan produksi telah bersentuhan, grafik konsumsi terus tajam ke atas, sebaliknya grafik produksi tajam menurun ke bawah. Pada Juli 2022 lalu, Indonesia memproduksi minyak mentah 616.000 barrel pernah hari (Bph), namun kebutuhannya mencapai 1,4 juta Bph. Lalu bagaiamana menentukan harga keekonomian BBM kita? Minyak mentah 1,4 juta Bph diolah di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti Singapura, sehingga menjadi BBM. Refenery pada kilang dapat mengkonversi minyak mentah sekitar 50% menjadi bensin dan 20% solar. Sisanya bervariasi dalam bentuk produk lainnya, seperti kondensat, bahan kimia dll. Harga refenery berkisar 10 dollar perbarrel (Rp 890 per liter dengan asumsi $1=14.890) atau 3 dollar perbarrel jika kilang sangat besar/raksasa. Atau jika di Iran sekitar $1, 7 per barrel. Selain harga refenery, diperlukan harga angkut minyak mentah ke kilang dan sebaliknya ke penyimpanan. Lalu tambahkan ongkos distribusi sampai ke SPBU. Voltaoil.com dalam "What Determines Retail Prices dor Gasoline and Diesel, 2015, memaparkan harga untuk memproduksi (cost of production) satu barrel minyak mentah bervariasi antara $20/barrel, seperti di Saudi Arabia, hingga $90/barrep di sumur minyak yang dalam. Menurutnya, struktur pembentukan harga sampai ke SPBU, di Amerika, untuk bensin, dibentuk oleh 51% biaya minyak mentah, 21% biaya Refining, 11% biaya distribusi dan marketing serta 16% pajak. Sedangkan untuk Diesel, biaya minyak mentah 49%, Refining 13%, Distribusi dan Marketing 19% dan pajak 18%. Di Indonesia, harga minyak mentah kita ditentukan oleh Menteri ESDM, bukan harga produksi. Menteri merujuk pada harga minyak Brent plus minus Alpha. Alpha, menurut panduan ESDM berkaitan dengan kualitas BBM, harga pasar internasional dan ketahanan energi nasional. Pada saat ini, 4/9/2022, oilprice.com memuat harga minyak mentah kita bervariasi $69, 74/barrel (Cinta), $99, 65/barrel (Duri) dan $87, 24/barrel (Minas). Sedangkan Brent pada harga $93, 02 dan WTI $86, 87. Menurut dataharian.esdm.go.id, harga minyak mentah kita per Juli adalah $106,73, turun dari bulan sebelumnya, Juni, $117, 62. Rerata ICP bulanan, Januari sampai Agustus 2022 adalah $103, 33 perbarrel. Rata-rata sampai tanggal 23 Agustus adalah $94, 65 perbarrel. Sementara asumsi APBN 2022 adalah $63 per barrel. Situs ini juga memuat harga BBM batas atas eceran per 1 Agustus, Bensin/liter Ron 89 Rp 17.078, Ron 90 Rp. 17.196, bensin Ron 92 Rp. 17.315, bensin Ron 95 Rp. 18.311, bensin Ron 98 Rp. 18.682, Solar PSO Rp. 19.652, Solar CN48 Rp. 19.651, Solar CN 51 Rp. 19.982. Pada saat yang sama, Data per 22/8/22, Bensin Ron 95 di Malaysia Rp. 6.801, Vietnam Rp. 16.042, Australia Rp 16.578 dan Indonesia Rp. 17.292. Lalu, Diesel, Malaysia Rp. 7.128, Thailand Rp. 14.509, Vietnam Rp. 15.239, Jepang Rp. 15.566, Australia Rp. 20.581 dan Indonesia Rp. 19.242 Di luar urusan harga, stock ketahanan BBM pada 28 Agustus disebut sebagai berikut, bensin Ron 90 cukup 17,7 hari (1.451.348 KL), Ron 92 cukup untuk 43,9 hari, bensin Ron 95 cukup untuk 92,3 hari, Solar CN 48 cukup untuk 20,9 hari, Solar CN 53 cukup untuk 56,2 hari. Apakah harga keekonomian BBM pertalite (Ron 90) benar-benar berkisar Rp. 17. 000? Seperti kata Menteri ESDM? Bagaimana kalau kita bandingkan dengan merk keluaran SPBU Vivo dengan harga Rp. 8.900 di Indonesia atau di Malaysia harganya Rp. 7.128? Kalau kita mengikuti struktur biaya pada voltaoil. com di atas, maka, dengan harga minyak mentah $100, harga sampai ke SPBU juga sekitar $100 per barrel, dengan asumsi negara memungut pajak sebesar16% kepada rakyat. $100 dollar per barrel artinya $0,63 per literliter atau Rp. 9.366 pada saat dollar di hari Jokowi menaikkan BBM kemarin lalu. Harga itu lebih mahal dari SPBU Vivo, yang menjual bensin Rp 8.900 per liter atau Malaysia menjual Rp. 7.128. Kita sudah mebuktikan bahwa harga keekonomian yang digunakan Airlangga Hartarto, Menteri ESDM maupun Dirut Pertamina tidak jelas asal usulnya. Apakah ada biaya siluman ataukah kita tidak efisein dalam usaha minyak/BBM? Sekarang kita lanjut sedikit tentang pikiran Kwiek Kian Gie, tentang barang kita sendiri. Seandainya komponen pembentukan minyak mentah kita mendekati 50-50 antara impor dan ekspor, lalu kapasitas kilang kita mencapai 1 jutaan PBH, tentu saja harga BBM kita pada akhirnya tergantung pada cara kita menghargai milik kita sendiri. Apakah bebasis ongkos produksi saja, seperti di Saudi Arabia, $ 20 atau katakanlah setengah harga dunia. Kalau kita memilih setengah harga dunia, atau sekitar $50, maka harga di SPBU adalah $75 per barrel untuk bensin. Atau Rp. 7000 per liter, seperti Malaysia. Apakah mungkin harga BBM kita menjadi Rp 5000 per liter? Tentu saja jika komponen pajak dikurangi. Atau basi harga minyak mentah dikurangi. Soal Subsidi Kedua, kita bicara soal subsidi. *Apakah kita sedang mensubsidi rakyat soal BBM?* Apakah orang-orang pengguna 120 juta motor sedang menerima subsidi negara? Apakah orang-orang ojek sedang menerima subsidi? Apakah mobil-mobil angkutan umum sedang menerima subsidi? Untuk harga BBM sekarang bahkan sampai harga Rp. 5.000 per liter, kita tidak perlu mengatakannya subsidi. Sebab, hal ini hanya terkait cara kita menafsirkan angka-angka dalam APBN kita, sisi pemasukan dan pengeluaran. Di Venezuela harga BBM Rp 330, di Iran Rp. 900 dan Libya Rp 500, begitu murahnya, mungkin karena kotak-katik APBN mereka tidak terjebak mazhab neoliberalisme barat. Apakah subsidi salah? Jika memang diperlukan subsidi, sebenarnya itu bukan sesuatu yang salah. Memang harus tepat sasaran agar mayoritas yang mendapatkan adalah yang berhak. Pertanyaan kenapa dana PEN (Pemilihan Ekonomi Nasional) setiap ekonomi menghadapi krisis, dikeluarkan negara untuk melindungi orang-orang kaya (juga)? Sekali lagi kita belum melihat adanya subsidi dan subsidi salah sasaran sejauh ini. Lalu apa motif pemerintah menaikkan BBM? Pertama tentunya mencari uang mudah dengan berdagang dengan rakyatnya sendiri. Ini penting untuk adanya uang dialokasikan pada projek-projek infrastruktur, seperti IKN dan Kereta Api KCIC. Kedua, takut mengevaluasi efisiensi dalam bisnis minyak ini. Begitu juga takut mengevaluasi berbagai rencana perluasan kilang yang tidak kunjung tiba. Ketiga, "mindset" penguasa yang tidak mampu melihat kesulitan rakyat yang datang bertubi-tubi, dari mulai pendemi covid-19, harga-harga kebutuhan pokok melambung akibat perang Rusia-Ukraina dan berbagai hal lainnya. Lalu apa dampaknya pada rakyat? Yang jelas Bank Indonesia sudah memperkirakan akan ada tambahan inflasi 1,3% perkenaikan BBM Rp 1000. Berbagai pengamat mengatakan akan mengakibatkan kenaikan inflasi 7-8% tahun ini. Sejatinya, dilapangan inflasi bisa berkali lipat, khususnya di sektor pangan dan transportasi. Untuk manufaktur sendiri, seperti otomotif, maka kejadian lesunya bisnis otomotif akibat kenaikan BBM 2014, akan terulang. Jutaan buruh dan keluarganya harus siap-siap menghadapi nasib buruk. Pengguna motor dan mobil untuk usaha, juga akan menghadapi nasib buruk. Apalagi kebijakan mewajibkan mobil 1400 Cc beli Pertamax, yang akan diteken dalam waktu dekat, semakin memukul usaha UMKM. Penutup Rakyat terhempas menderita yang dalam dengan BBM dinaikkan Jokowi. Sementara ketua ketua parpol sibuk kunjungan copras capres. Anggota DPR dan politisi diam seribu bahasa. Tinggallah rakyat, kaum buruh, mahasiswa, petani, ulama harus berpikir keras. Bagimana men setting Indonesia ke depan? Kita sudah perlihatkan soal harga keekonomian dan subsidi salah sasaran, sebagai alasan kenaikan BBM sebuah omong kosong belaka. Jika presiden ke depan pro rakyat, maka harga BBM bisa Rp. 5000 per liter, tanpa istilah subsidi. Ini belum kita mengintegrasikan seluruh sumber energi, seperti batu bara, biofuel (sawit, buah Jarak, dll), energi angin dan Matahari dlsb. Jika negara kaya raya seperti Indonesia bisa digenggam oleh elit-elit yang cinta rakyat, yang bekerja berdasarkan UUD 45 Asli pasal 33, sila ke 5 Pancasila dan tujuan kemerdekaan seperti pada preambul UUD45, maka persoalan harga BBM tidak menjadi urusan ruwet lagi nantinya. Sekali lagi semua itu tergantung Mahasiswa, Buruh, Emak-emak, kaum purnawirawan TNI dan Ulama. Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, alumni ITB. ***
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: